Paradigma baru: “Pertambangan untuk Lingkungan”

Selain menggaungkan manfaat-manfaat pertambangan, kini saatnya juga kita mengajak publik untuk berpikir dan melihat dengan paradigma baru

Seringkali kita mendengar bahwa tambang memberikan dampak negatif terhadap lingkungan. Merusak lahan dan ekosistem di sekitarnya, areal hutan yang rusak sehingga menghilangkan atau mengurangi fungsi biologis dan ekologis hutan, pencemaran terhadap sungai dan sumber air di sekitar area pertambangan, dan banyak lagi dampak negatif lainnya. Karena hal-hal inilah, paradigma negatif “tambang merusak lingkungan” muncul.

Paradigma ini adalah paradigma yang muncul di publik seolah-olah tambang tidak punya manfaat selain merusak lingkungan. Padahal, jika dilihat dari sisi yang lain, manfaat pertambangan sangat banyak, bahkan setiap aspek kebutuhan masyarakat disokong oleh pertambangan. Sebagai contoh, berbagai barang dan peralatan yang menjadi kebutuhan kita sehari-hari dalam berbagai aspek kehidupan seperti moda transportasi, alat komunikasi, bahan bangunan, perabotan rumah tangga dan lain sebagainya, dihasilkan oleh bahan metal/logam dan bahan non logam yang berasal dari kegiatan pengolahan dan pemurnian komoditas pertambangan. Selain itu, pertambangan juga memberikan kontribusi besar terhadap pemasukan negara. Contohnya, Chili dan Peru sebagai dua negara penghasil tembaga terbesar di dunia, sekitar 10% dari total Gross Domestic Product (GDP) negara tersebut berasal dari sektor pertambangan. Di Indonesia, meskipun tidak sebesar Chili dan Peru, rata-rata kontribusi pertambangan 10 tahun terakhir kurang lebih 5.2% dari total GDP dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor pertambangan mencapai 45 triliun rupiah di tahun 2019. Manfaat lainnya yaitu pertambangan yang pada umumnya terletak pada remote area memberikan dampak terhadap peningkatan perekonomian daerah dan menyediakan lapangan pekerjaan terutama untuk masyarakat sekitar wilayah pertambangan.

Jadi, paradigma “tambang merusak lingkungan” adalah satu paradigm lama yang masih beredar di masyarakat luas saat ini yang memandang seolah-olah pertambangan hanya membawa kerugian untuk lingkungan di sekitarnya. Kerusakan terhadap lingkungan sebenarnya sudah dimitigasi dengan adanya peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang mewajibkan perusahaan pertambangan untuk melakukan pengelolaan lingkungan dalam mencegah timbulnya dampak terhadap lingkungan. Namun, terlepas dari itu semua, seharusnya saat ini kita bukan berpikir bahwa pertambangan itu merusak lingkungan, tapi berpikir sebaliknya. Selain menggaungkan manfaat-manfaat pertambangan yang tadi disebutkan sebelumnya, kini saatnya juga kita mengajak publik untuk berpikir dan melihat dengan paradigma baru yaitu “Pertambangan untuk Lingkungan” atau “Lingkungan butuh Pertambangan”.

Kenapa muncul paradigma baru ini?

Hal ini didorong oleh kondisi perubahan global terkait sumber energi. Saat ini perubahan atau shifting energi dari fossil-based seperti batubara, minyak dan gas menuju low-carbon energy seperti solar PV, tenaga angin, air, dsb adalah hal utama yang dilakukan banyak negara di dunia untuk mendukung tujuan global dalam membatasi peningkatan suhu bumi di bawah 2°C dan melakukan berbagai upaya untuk membatasi kenaikan suhu bumi hingga 1.5°C, yang tertuang dalam Paris Agreement. Peningkaatan suhu bumi terus terjadi karena adanya peningkatan emisi gas rumah kaca, terutama CO2 atau karbon dioksida yang banyak dihasilkan oleh industri-industri, pabrik, kendaraan yang berbahan bakar fossil fuel, dan kegiatan lainnya. Data menyatakan bahwa konsentrasi CO2 diatmosfir saat ini sekitar 416 ppm, yang meningkat sekitar 50% dari era sebelum Revolusi Industri dan kenaikan ini sejalan dengan peningkatan suhu bumi, yang diperkirakan meningkat 1.17°C di tahun 2019 dari rata-rata temperature global tahun 1901 – 2000. Peningkatan suhu bumi 1°C saat ini telah dirasakan dampaknya, seperti musim panas ekstrim yang terjadi di Australia tahun 2019 yang menyebabkan ratusan ribu hektar lahan terbakar, heat wave yang terjadi di India dan Pakistan pada tahun 2015 yang menewaskan lebih dari 2500 jiwa, pengurangan volume es di Antartika, dan banyak dampak-dampak lainnya. Oleh karena itu, perubahan energi menuju low-carbon energi sangat diperlukan untuk memitigasi dampak-dampak yang lebih buruk lagi jika pemanasan global terus terjadi.

Peningkatan demand terhadap energi yang semakin tinggi juga dipicu oleh pertumbuhan ekonomi negara-negara di dunia yang semakin meningkat akibat populasi global yang semakin besar. GDP dunia akan mengalami peningkatan rata-rata 2.6% setiap tahunnya hingga tahun 2050 dengan penambahan populasi dunia sebesar 1.1% setiap tahun. Dan dari hasil proyeksi, GDP dunia pada tahun 2050 akan mencapai 214.145 miliar USD (proyeksi total GDP dari 32 negara ekonomi terbesar yang mewakili 85% GDP dunia), dimana Cina akan menjadi penyumbang terbesar sekitar 20%, yang disusul oleh India di urutan kedua, US dan Indonesia masing-masing di urutan ketiga dan keempat (berdasarkan data GDP at PPP yang dikeluarkan PwC). Oleh karena itu, kebutuhan energi di masa depan akan semakin tinggi dan pilihan untuk berpindah ke low-carbon energi adalah pilihan yang tepat untuk mengurangi dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh fossil-based energi. Alasan lain kenapa shifting energi ini perlu dilakukan adalah karena fossil-based energi merupakan energi tak terbarukan yang akan habis di kemudian hari sehingga dibutuhkan alternatif energi baru yang sifatnya berkelanjutan dan lebih bersih dalam memenuhi kebutuhan manusia.

Shifting energi menuju low-carbon energy adalah jawaban dalam pemenuhan energi yang sifatnya “environment-friendly and sustainable”. Secara global, shifting ini sudah sangat banyak dilakukan oleh negara-negara di dunia. Pembangunan dan perkembangan energi terbarukan semakin meningkat hingga saat ini dan diprediksi akan terus meningkat kedepannya. Dan dengan didukung oleh teknologi yang sudah semakin maju, biaya listrik dari sistem energi terbarukan saat ini bisa menjadi lebih murah dari fossil-based fuel (berdasarkan data terbaru dari International Renewable Energy Agency).

Kembali lagi ke paradigma baru yang disebutkan di atas, “Pertambangan untuk Lingkungan” atau “Lingkungan butuh Pertambangan”. Apa kaitannya dengan pemaparan sebelumnya? Ternyata, pembangunan dan pengembangan teknologi dari energi terbarukan merupakan “mineral-intensive”, yang artinya membutuhkan mineral-mineral utama dalam pengembangan teknologi tersebut. Sudah banyak kajian terkait hal ini. Salah satunya yaitu kajian dari World Bank di tahun 2017 yang berjudul “The Growing Role of Minerals and Metals for a Low Carbon Energy”. Selain itu, paper yang ditulis oleh Tokimatsu et al pada tahun 2017 yang dipublikasikan di salah satu jurnal internasional juga menyebutkan berbagai mineral-mineral utama yang digunakan dalam pengembangan teknologi energi terbarukan ini. Sebagai contoh, dalam pengembangan teknologi solar PV module dan turbin angin, dibutuhkan logam-logam utama seperti tembaga, nikel, timbal, timah, aluminium dan silika. Disini dapat diprediksi bahwa kebutuhan mineral akan semakin meningkat seiring dengan perkembangan teknologi energi terbarukan secara global sehingga pertambangan mineral akan memiliki kontribusi yang besar untuk menunjang hal tersebut. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pertambangan sangat berperan besar dalam menciptakan lingkungan yang bersih. Dan inilah paradigma baru yang belum banyak dikenal dan digaungkan kepada masyarakat luas yang belum menyadarai bahwa ada closed loop supply chain atau hubungan yang sangat erat antara pertambangan dengan upaya menciptakan lingkungan yang bersih.

Kondisi Indonesia Saat Ini

Lalu, bagaimana dengan kondisi Indonesia saat ini? Energi terbarukan juga sudah dikembangkan di Indonesia mengingat Indonesia juga merupakan salah satu negara yang ikut menandatangani Paris Agreement. Rencana pemerintah Indonesia dalam mengurangi emisi karbon dunia sudah dituangkan dalam NDC (Nationally Determined Contribution) dimana target pengurangan emisi gas rumah kaca yaitu sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan dukungan internasional yang memadai pada tahun 2030. Untuk mencapai hal tersebut, kontribusi energi terbarukan terhadap pemenuhan kebutuhan energi juga ditingkatkan, seperti yang terangkum dalam Rencana Umum Energi Nasional yang dikeluarkan pada tahun 2017, dimana kontribusi energi terbarukan akan menjadi 23% di tahun 2025 dan 31% di tahun 2050.

Namun, pada kenyataannya, kapasitas energi terbarukan yang telah terpasang di Indonesia sendiri masih sangat jauh dari target yang telah ditentukan. Pengelolaan yang masih sangat kurang dan tingginya biaya dari energi terbarukan ini menjadi alasan tidak berkembangnya teknologi ini di Indonesia. Hal ini sangat disayangkan karena mengingat Indonesia adalah negara yang memiliki sumber daya mineral yang berlimpah Indonesia adalah penghasil nikel terbesar dan nomor dua penghasil timah terbesar di dunia. Selain itu, cadangan timah, tembaga dan bauksit masih sangat melimpah, menempati urutan kedua, kelima dan keenam secara global. Hal ini seharusnya menjadi kesempatan emas bagi Indonesia dalam mendukung pengembangan teknologi energi terbarukan dan mempersiapkan strategi yang bisa dilakukan, seperti penyusunan database dan roadmap, perkuatan linkage antara sektor mineral dan energi terbarukan dan strategi-strategi lainnya termasuk improvement kebijakan, dalam meningkatkan peran Indonesia sebagai negara dengan sumber daya mineral yang berlimpah.

 Telah diterbitkan di Majalah PERHAPI Edisi 01/Januari-Maret 2020, hal. 50-51.


Other Recent News

Other Recent How We Assist News

Other Recent Pages